Kurang Lebih Seperti Ini (juara 1 lomba cipta cerpen TMSI 2022)

  Kurang Lebih Seperti Ini

(karya: Nadila Afrizki Mastika)


          ‘Kringgg’, aku terlonjak, lalu kepalaku terangkat untuk melihat jam dinding yang terpasang pada dinding kelas. Jarum jam menunjukkan tepat pukul empat, pantas saja bel pulang sekolah sudah berbunyi. “Ali, sudah sampai mana kamu berkeliling dunia?”, tanya ibu guru yang mengajar di kelasku di jam terakhir ini. Aku masih merasa bingung sambil menoleh ke sana dan ke mari akibat efek dari bangun tidur, semua teman sekelasku menatap diriku. “Jika kamu tidur lagi di jam pelajaran saya lebih baik tidak perlu mengikuti pembelajaran dan keluar saja dari kelas. Tidak hanya Ali tetapi untuk semuanya saja, mengerti?”, nasihat Ibu Guru. “Baik, Bu!”, ucap seluruh siswa dan siswi serentak.

          Saat berjalan melewati koridor, seorang siswa memanggilku dari arah belakang. “Li!”, panggil siswa itu. Sontak aku menghentikan langkah kakiku dan menolehkan kepala ke belakang untuk melihat siapa gerangan yang memanggilku. “Ada apa, Nda?”, tanyaku. “Ali, ini tadi ada surat titipan dari Bu Ratna”, ucap Nanda sembari menyerahkan sebuah surat berukuran panjang berwarna cokelat dengan stempel sekolah, pasti ia akan dipanggil lagi. “Wihh, sepertinya dapat surat cinta itu, Li”, ungkap Nanda menggoda. Dengan cepat aku memelototinya, “Bercanda”, lanjutnya. “Makasih”, ucap Ali lalu melanjutkan jalannya. “Li, malam nanti kita main ke cafĂ© depan yukk”, ajak Nanda. “Maaf, aku nggak bisa, aku harus kerja nanti malam”, jawabku.

          “Nggak asik kamu, Li. Harusnya masa remaja kita ini dihabiskan untuk kita habiskan untuk bersenang-senang, bukan malah memikirkan beban untuk bekerja”, Nnanda memprovokasi sembari merangkul bahu Ali. “Nda, kamu nggak lagi ngajak bercanda ‘kan?”, ucapku sedikit marah. “Iya, iya maaf, bercanda”,”Yaudah, aku duluan ya, udah dijemput papa, assalammu’alaikum”, Nanda berpamitan kepadaku. “Wa’alaikumussalam”, jawabku.

          Kakiku melangkah, satu demi satu kelas aku lalui. Begitu keluar dari area sekolah aku bisa melihat langit hari ini yang begitu gelap padahal masih pukul 4 sore, yang juga disertai suara guntur dengan alunan tidak terklalu keras. Dengan segera aku menuju tempat parkir dan mengayuh sepedaku untuk pulang ke rumah sebelum ibunya kelaparan. Ia hanya tidak ingin merepotkan ibunya yang beberapa bulan ini terbaring di tilam rumah karena penyakit yang sedang di deritanya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, aku pergi bekerja di malam hari setelah aku pulang dari sekolah. Bisa dikatakan aku bekerja part-time. Aku bekerja di sebuah restaurant sebagai tukang cuci piring. Ayahku? Ia sudah pergi meninggalkan kami bebrapa tahun silam. Entah ke mana perginya aku juga tidak tahu.

          ‘Ckittt’, aku mengerem sepedaku mendadak, membuat para pengendara di belakangku marah-marah. Mataku membulat melihat seseorang yang baru saja masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hitam di depan sana sedikit jauh dari tempatku berdiri saat ini. Tanpa berpikir panjang, dan tanpa memperhatikan sekitarku, dengan cepat aku mengayuh sepeda yang aku tunggangi. ‘Gubrak’, tanpa disengaja aku menabrak sebuah sepeda tua yang terparkir di pinggir jalan yang diatasnya mengangkut beberapa barang bekas hingga barang tersebut berceceran di jalanan. Seharusnya aku segera berdiri membantu seorang laki-laki yang sepedanya baru saja aku tabrak, namun aku hanya terdiam di tempat sembari memandang mobil hitam yang baru saja melintas di hadapannya. Tanpa di sengaja bulir bening menetes dari netra hampaku.

          “Astaghfirullah, adik tidak apa-apa?”, tanya bapak yang sepedanya baru saja ia tabrak, sembari membantuku berdiri dari trotoar. “Oh, tidak apa-apa, Pak, saya baik-baik saja”, jawabku seadanya. “Maaf ya, Pak, gara-gara saya barangnya jadi bernatakan semua”, lanjutku sembari membantu bapak tersebut memunguti barang yang berceceran di jalan. “Sudah tidak apa-apa, yuk, duduk dulu di halte”, ajak si bapak dan aku hanya menurut, toh aku juga perlu menenangkan hati dan pikiranku.setelah aku mendaratkan tubuhku pada kursi panjang halte, bapak itu menyodoriku sebotol air mineral, “Ini di minum dulu, Dik”, tawarnya yang kemudian aku ambil dan aku teguk beberapa kali hingga menyisakan setengah dari jumlah awal. Tidak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada nya, “Terima kasih, Pak”, ucapku, sedangkan bapak itu hanya mengangguk-angguk.

          “Lin kali kalau naik sepeda hati-hati ya? Jangan lupa untuk fokus juga, bapak lihat kamu tidak fokus tadi. Sedang memikirkan apa memang?”, nasihatnya. “Hehehe, iya, Pak, terima kasih sudah diingatkan, saya tidak memikirkan apa-apa”, aku menyangkalnya. Namun dari raut wajahku si bapak dapat melihat. “Lagi banyak masalah ya?”, aku hanya menunduk. “Saya tidak tahu masalah apa yang sedang kamu hadapi, tetapi satu kata yang harus menyertai kamu di setiap langkah dalam menghadapi masalahmu, sabar. Memang sulit untuk melakukannya, tapi kamu harus selalu ingat bahwa Allah sealalu ada di samping kita. Sabar itu tidak murah, tetapi sabar juga tidak bisa dibayar dengan uang. Sabar itu punya banyak manfaat, di setiap jalanmu pasti selalu ada orang baik yang menolongmu karena Allah selalu bersamamu. Jadi, walaupun banyak rintangan yang menghadangmu, kamu harus selalu bersabar dan tetap jalani jalan terjal nan tinggi yang ada di hadapanmu. Tidak perlu tergesa-gesa, berjalan perlahan-lahan saja. Pasti ada suatu saat di mana ada jalan halus dan menurun yang membuat kamu bisa berlari dengan kencang”, jelas bapak itu panjang lebar.

          Ia merangkul pundakku sembari berkata, “Semangat! Besok jam 1 pagi coba sholat deh, dan lihat apa yang akan terjadi kepadamu selanjutnya, oh ya, jangan lupa untuk bersholawat, sholawat tidak sulit, kamu bisa melakukannya di manapun dan kapanpun. Bukankah surga itu lebih murah dibanding dengan neraka? Kamu tidak perlu mengeluarkan uang untuk pergi ke surga. Satu lagi, jangan lupa untuk tetap tersenyum hingga kamu lupa kalau kamu sedang bersedih”, lanjutnya. “Yasudah, kalau begitu saya pamit terlebih dahulu. Assalammu’alaikum”, pamit bapak itu lalu mengayuh kembali sepeda tuanya. “Wa’alaikumussalam”.

          Singkat cerita, aku sampai di rumah dan memarkirkan sepedaku. Aku memasuki rumah dengan senyuman cerah sembari menenteng sebungkus maknan yang aku bawa untuk ibu. aku memasuki kamar ibu dan membantu ibu untuk duduk perlahan-lahan, sebelumnya aku sudah mengambil piring dan air hangat dari termos di dapur. Dengan sabar aku menyeka tubuh kurus ibuku seperti biasanya. 

          Aku menutup pintu rumahku perlahan-lahan agar tidak membangunkan tidur nyenyak ibuku. Aku melihat jam di dinding rumahku. Pukul 2 pagi, seketika aku teringat kata seorang yang aku temui tadi sore. Dengan segera aku mengambil air wudhu di kamar mandi dan melaksanakan salat 4 rakaat. Setelahnya aku membaca shalawat beberapa kali, tidak lupa juga aku memohon kepada yang kuasa uantuk dapat membantu menyelesaikan masalah yang aku miliki. 

          Benar saja, bebrapa hari berlalu, aku dapat menemukan jalan dari beberapa maslahku. Satu persatu maslahku juga dapat terselesaikan. Tidak hanya itu, di aku melangkah pasti selalu ada orang baik yang menemaniku, hatiku juga menjadi selalu tenang.

          6 tahun kemudian…

          Aku mengayuh sepedaku dengan pakaian wisuda menuju ke sebuah tempat yang kini menjadi tempat yang cukup nyaman bagiku. Aku telah berhasil mendapatkan gelar yang aku harapkan dan kini aku akan menunjukkannya kepada orang tercinta yang dulu selalu menemaniku. Setelah sampai, aku segera berjalan menuju sebuah makam yang bertuliskan nama ibuku. Ia meninggalkanku 2 tahun yang lalu. “Ibu, lihat aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku juga udah bisa dapat pekerjaan yang bagus berkat ibu yang selalu menemaniku, semoga ibu selalu bahagia di sana”.

          Setelah mengunjungi tempat ibu beristirahat sekarang ini, aku kembali mengayuh sepeda milikku, namun bukan untuk pulang tetapi untuk mengunjungi rumah Pak Warno, orang yang beberapa tahun lalau sepeda tua miliknya aku tabrak. Aku tidak bisa melupakan beliau. Berkat nasihatnya, aku bisa menyelesaikan segala masalah yang aku hadapi tanpa rasa takut.


-SELESAI-

*SIE SBI*